Minggu, 11 Oktober 2020

The Twilight Girl

Oleh: Annisa Dwi Pratiwi


         Cahaya matahari mulai meredup, sang awan pun dengan seksama menjadi penguasa langit, menyisingkan senja yang berwarna jingga. Di sebuah sekolah hanya kesunyian yang menyelimuti, tak ada satpam yang selalu berada di pos nya, juga tak ada murid yang meramaikan sekolah oleh tingkahnya.

          Akan tetapi, ada seorang gadis cantik bernama Naya. Seorang siswi kelas XII di sekolah itu sedang berlari dengan tergesa-gesa. Gesekan sepatu ketsnya membuat suara di sekitar lorong yang ia lewati menggema. Rambut panjangnya ikut melambai seiring langkah kakinya yang lebar, wajahnya tambak basah oleh keringat menandakan ia berlari tanpa henti.

Naya telah sampai di tempat tujuannya, yaitu ruang kelasnya. Dengan napas terengah-rengah, kedua tangannya bertumpu pada lutut untuk menetralkan nafasnya. Di atas pintu terlihat kayu kecil yang menggantung bertuliskan XII-1. Ia menegakkan badannya, lalu berjalan menuju bangku yang berada di pojok kanan dekat pintu masuk. Gadis itu berjongkok untuk melihat isi laci mejanya, senyumnya langsung mengembang saat benda yang ia cari ternyata masih tergeletak rapi.

Tangannya terjulur mengambil benda tersebut yang ternyata adalah buku catatan.

“Untung masih ada” Keluhnya lega, jika sampai buku catatan ini hilang, bisa bisa nyawanya besok dicabut oleh pak Hasdar, guru matematika paling killer yang terkenal dengan kedisiplinannya. Jika tidak membawa buku catatan yang telah dianggap kitab suci bagi para siswa yang diajar oleh pak Hasdar. Siap siap saja hukuman atau nilai taruhannya. Naya berjalan sambil memeluk bukunya, matanya meneliti setiap sudut sekolah.

“Ternyata kalo sepi gini, sekolah serem juga” Batinnya, ia jadi teringat cerita teman-temannya tadi siang. Sore menjelang maghrib akan ada suara wanita minta tolong, sosoknya menggunakan baju putih yang penuh dengan darah, rambut panjang menutup wajahnya yang juga penuh akan darah, ditambah lagi ia berjalan dengan menyeret kedua kakinya yang berdarah, menciptakan garis memanjang di sepanjang koridor.

Tiba-tiba angin berhembus dari arah belakang, membuat tubuh Naya sekitika merinding, ia memeluk dirinya sendiri mencoba meyakinkan diri bahwa yang tadi hanya sebuah hembusan angin semata.

“Ya, itu hanya angin” Batinnya meyakinkan.
Ia mempercepat langkahnya, berbelok melewati lorong tanpa menengok ke belakang, takut jika hantu itu muncul tepat saat ia menengok ke belakang.
Akhirnya Naya sampai di lapangan belakang sekolah, ia memilih jalan ini karena lebih cepat sampai di rumah dari pada melewati halaman depan.

Baru saja Naya akan melewati pohon besar itu, matanya langsung terbalak melihat seorang gadis bertikarkan rumput sedang duduk di bawah pohon. Perawakan gadis itu mungil, mengenakan gaun putih tanpa lengan dengan rambut panjangnya yang diurai membingkai wajah bulatnya.

Gadis itu mendongak melihat ke arah Naya yang sedang memeluk buku. Gadis bergaun putih itu tersenyum, sambil melambaikan tangan ke arah Naya. Awalnya Naya takut, pikirannya mengatakan bisa jadi gadis itu hantu.

Tapi setelah ia teliti lebih jauh, tidak ada tanda tanda ia hantu, sepasang kakinya ada, tak ada noda merah di gaunnya ataupun rembesan darah dari kakinya, bahkan jika Naya boleh jujur gadis itu cantik dan manis.

Perlahan ia mendekat ke arah gadis itu dan duduk di sampingnya. Naya masih bersikap  sedikit waspada, ia duduk agak jauh untuk menjaga jarak. Sedangkan gadis itu tampak tidak keberatan. Justru ia agak mendekat dan mengulurkan tangan untuk berkenalan.

“Aku Reina, namamu siapa?” Tanya gadis itu.
“A.. aku Naya” Jawabnya agak gugup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Metamorposa 6

               “Sayang, bangun nak…” ucap seseorang sambil mengusap rambutku. Pasti itu mamaku.             “Hmm… iya ma” ucapku sambil du...